Pemimpinku, belajarlah dari mitos Batara Kala


Ada sebuah mitos tentang gerhana bulan yang hingga kini dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa dan Bali :
Konon, (seperti biasa dalam cerita mitos), bertahtalah seorang Raja sakti mandraguna yang bernama Kalaharu. Dia bertahta di kerajaan Antariksa. Raja ini dikenal serakah, kejam dan lalim.
Salah satu obsesi Raja Kalaharu adalah mencuri Tirta Amerta, air kehidupan yang membuat siapa saja yang meminumnya akan abadi, kekal. Sayangnya tirta amerta ini disembunyikan secara sangat rahasia oleh para dewata dikahayangan dan dijaga dengan sangat ketat.
Tapi pada akhirnya Raja Kalaharu berhasil juga mendapatkan informasi lokasi penyimpanan tirta amerta. Hingga pada suatu saat, disaat para dewata lengah, Raja Kalaharu berhasil mencuri tirta amerta. Hanya sayangnya, Batara Candra, sang penguasa bulan, mengetahui tindakan pencurian ini. Merasa akan kalah bertanding dengan Raja  Kalaharu, Batara Candra memilih melaporkannya ke Batara Guru, raja para dewa. Batara Guru segera memerintahkan Batara Wisnu untuk memburu Raja Kalaharu dan merebut kembali tirta amerta. Raja Kalaharu kewalahan menghadapi kesaktian Batara Wisnu. Dalam kondisi terdesak, Raja Kalaharu meminum tirta amerta dan berharap tuah darinya. Hanya sayang, ketika tirta amerta baru sampai ketenggorakannya, Batara Wisnu keburu menebas batang leher Raja Kalaharu dengan senjata cakra. Batang tubuh Raja Kalaharu melayang jatuh kebumi, menjelma menjadi lesung kayu. Sementara kepalanya melayang diangkasa, tetap hidup abadi sebagai Batara Kala.

Dendam Batara Kala pada Batara Candra yang telah memergokinya mencuri tirta amerta berubah menjadi kesumat. Pada saat – saat tertentu Batara Kala menelan bulat-bulat Batara Candra sehingga terjadilah gerhana bulan.
Untuk menolong Batara Candra, dewata memerintahkan para penduduk bumi agar memukul lesung kayu saat gerhana terjadi. Tujuannya adalah menyakiti tubuh Batara Kala agar segera melepaskan caplokannya terhadap Batara Candra.

Ya.. inilah adalah sebuah mitos, walau sebagian masyarakat masih mempercayainya. Baik yang 100% ataupun setengah persen.
Cerita atau tepatnya mitos seperti ini tentu saja tidak lahir begitu saja. Tentu ada semacam akar dari cerita ini. Karena cerita telah melahirkan semacam budaya, atau kalau tidak boleh disebut dengan ritual, memukul lesung dalam menghadapi peristiwa gerhana bulan.
Yang kemudian saya kagumi dari mitos-mitos semacam ini adalah kemampuan orang-orang terdahulu, terutama para pemimpinnya, melakukan gaya persuasi dan komunikasi dengan rakyatnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menimpa mereka. Gerhana bulan adalah gejala alam yang lumrah terjadi, tapi ilmu pengetahuan saat itu tidak mampu menjelaskan secara detail bagaimana proses terjadinya. Tantangan dari rakyat muncul ketika hal itu ditanyakan pada penguasanya. Dan lahirlah mitos-mitos ini. Para raja zaman dahulu dianggap sebagai titisan dewa yang harus mampu menjawab semua pertanyaan dan menyelesaikan masalah.
Tentu kita akan tertawa jika saat ini pemimpin kita mencoba menerangkan kepada kita bahwa gerhana bulan terjadi karena ulah Batara Kala. Science modern memang kemudian membuktikan bahwa tidak ada kepala raksasa yang mondar-mondir diangkasa untuk kemudian menelan bulan. Yang kita butuhkan tetaplah sama, pemimpin yang mampu menjawab fenomena-fenomena dan masalah-masalah yang menimpa rakyat dan negaranya dengan bahasa (kebijakan) yang membumi, menentramkan dan menyelesaikan.
Memang mereka tidak lagi dianggap sebagai titisan dewa. Tapi sepanjang pengetahuan saya, minimal mereka dianggap sebagai “ semampu-mampunya “ orang dari sekian ratus juta rakyat Indonesia. Keberanian mereka memunculkan diri, untuk kemudian terpilih, dalam proses demokrasi adalah sebuah keberanian tersendiri yang harus diacungi jempol. Tapi kemampuan mereka mengambil sikap dan keputusan dalam mengemban berbagai persoalan bangsa adalah yang ditunggu dan wajib dilaksanakan.
Pemimpin yang memilih merengek-rengek dan menunjuk pihak lain atau bahkan alam sebagai factor penghambat dalam penyelesaian persoalan negara adalah bukan pemimpin idaman.
Ketergantungan rakyat pada pemimpinnya menciptakan kecintaan. Dan itu dibangun dengan dikepercayaan. Kepercayaan yang dibangun oleh kemampuan. Bukan justru memborbardir otak rakyatnya dengan isu bombastis soal bagaimana ia hendak ditarget mati oleh para teroris, bagaimana ia akan ditangkap di negeri seberang atau bagaimana ia akan digulingkan. Atau  ia bereaksi begitu cepat jika ada orang tertidur dalam pidatonya tapi sayangnya malah memilih menonton bola disaat rakyatnya tenggelam di ujung papua.
Pemimpinku….bekerjalah… jika kau tidak sanggup menjadi wisnu maka cukuplah engkau menjadi cakra.

0 Response to "Pemimpinku, belajarlah dari mitos Batara Kala"

Posting Komentar