The Powerful “ben”

Ben” disini tidak ada hubungannya dengan “Ben” film pertamanya mendiang Michael Jackson atau “Ben” si uncle Ben pamannya Peter Parker (Spiderman). “Ben” adalah bahasa jawa, walau mungkin tidak semua orang jawa tahu. Didaerah mataraman (Jogja, Solo, Ngawi, dll) kata “ben” dikenal. Ben artinya “biar”. Kependekan dari “yo wis ben” (biarkan saja) atau “yo ben” (biar saja). Entah didaerah jawa yang lain. Atau malah “ben” mempunyai arti yang lain dicultur yang lain? Bisa jadi.
Lantas apa untungnya membahas ini? Toh si “ben” tidak lebih dari pada kosa kata jawa yang lain seperti dhahar (jawa halus untuk “makan”), ngombe (minum), endas (kepala), mlaku (jalan/berjalan) dan lain-lain. Ada ribuan kata dalam kosa kata jawa, mengapa pula saya membuang energi percuma dengan membahas kata ini. Oke .. akan saya jelaskan (bukankah itu maksud dari tulisan ini?)
“Ben”, seperti yang jelaskan diatas, mempunyai arti sederhana : biar, biarkan saja, ya biar toh!, tapi mempunyai bermacam makna. “Ben” mempunyai makna :
  • Sikap antisipatif terhadap intervensi orang/fihak lain pada apa yang sedang atau akan kita kerjakan
  • Bentuk rasa siap menanggung segala resiko pada apa yang kita kerjakan
  • Ketidak sopanan, ketidak acuhan, anti sosial dan (bisa jadi) ketidak disiplinan. Bayangkan bila dengan nada baik-baik seseorang mengingatkan kita “mbok kamu itu pakai helm. Supaya selamat” dan dengan enteng kita jawab “ben!”., tentu menimbulkan ketersinggungan.
Tapi “ben” bagi saya, ditengah segala hiruk pikuk suasana ini sangat jauh lebih manfaat dari mudharatnya. Terlalu konyol jika kita terlalu menurut apa kata orang dan apa kata zaman. Dan senjata pamungkas saya adalah “ben”.
Mungkin akan terjadi banyak benturan. Tapi mari kita ingat, para pendiri bangsa ini senjatanya adalah “ben”. Saya nggak main-main. Coba saja kalau Pangeran Diponegoro lebih memilih hidup mewah di kraton yang telah terkontaminasi mewahnya hedonisme ala Belanda, tentu dia tidak akan berani mengangkat senjata melawan Belanda. Saya yakin, Pangeran Diponegoro telah dibujuk fihak keluarganya untuk menghentikan perlawanan dengan segala macam janji dan iming-iming. Dan apa jawab beliau? Ben! Dan pingsanlah para penjajah itu.  “ben!” telah memukul pula para pembujuk Soekarno, Teuku Umar, Monginsidi, Bung Tomo dan tokoh-tokoh pendiri negeri ini.
Tertawaan dan cacian juga tertuju pada Columbus yang nekat akan berlayar hanya untuk membuktikan dunia ini bulat ditengah persepsi umum bahwa bumi ini datar. Kelak “ben”nya si Columbus terbukti benar. Bahkan dia mendapatkan bonus dengan melahirkan bangsa Amerika.
Imaginasi saya juga melayang pada 16 abad yang lalu ditengah gersangnya semenanjung Arabia saat seorang pemuda tampan dibunjuk dengan segala kemewahan untuk menghentikan segala aksi gerakan reformasi global yang tengah dibangunnya. Dibawah bayang-bayang dua pilihan, antara menerima bujukan atau menerima siksaan komunal karena aksinya melawan pendapat mainstream masyarakat saat itu, maka pemuda itu menjawab: “ben!”. Dan bibit peradaban besar telah disemai.

Solo, 26 Oktober 2008

1 Response to "The Powerful “ben”"