Ngangkang sampe kiamat


Dulu, salah satu tontonan yang paling menarik di tradisi Sekatenan adalah pangelaran musik ndangdut. Pagelaran itu didalam sebuah bangunan tidak permanent, semacam tobong ketoprak, yang biasanya pemiliknya satu management dengan aneka permainan macam komedi putar, tong setan dan lain-lain. Tiket masuknya pun cukup murah. Yang nggak mau atau nggak sanggup bayar tiket cukup jogetan di depan arena pertunjukan. Sebagaian besar orang menyebut pagelaran dangdut ini dengan sebutan dangdut “plekek” ( huruf “e” pada “ple” dibaca seperti pada kata “lembu” dan huruf “e” pada “kek” dibaca seperti pada kata “lempar” ). “Plekek” artinya merekah. Tapi disini arti yang tepat adalah “ngangkang”.

Ya, dangdut plekek memang lebih menonjolkan erotisme penyanyinya. Sang biduan lebih banyak ngangkangnya daripada nyanyinya. Para penonton memang dibuat tersihir dengan aksi seni ngangkang ini. Putaran arus bawang (selangkang) dipadukan dengan arus atas (dada) plus gerakan bibir erotis, desahan berpadu dengan derap teratur musik dangdut.
Sampai sekitar awal 90-an, melalui para ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam memprotes pagelaran ndangdut plekek ini karena sebagai pemilik sah tradisi sekatenan merasa pagelaran ndangdut plekek mengotori tradisi untuk memperingati maulid nabi ini. Hasilnya .. ndangdut plekek dilarang ditampilkan bersama aneka perjudian diarena sekaten.
10 tahun kemudian, muncul Inul Daratista dengan goyang ngebornya. Kali ini kondisi berbalik. Kritik dan protes umat islam justru jadi bahan kampanye gratis buat si Inul. Apalagi kemudian si Inul mendapat pembelaan besar-besaran dari salah satu tokoh umat Islam (almarhum) plus ratusan artis, tokoh-tokoh pluralis dan yang utama media massa. Umat Islam kini yang jadi pecundang. Makin diserang (diprotes), Inul makin melambung bak matahari baru.  Dan publik Indonesia yang pada dasarnya melodramatik makin banyak yang tiba-tiba berdiri sebarisan dengan Inul. Atas nama kebebasan berekspresi dan atas nama seni.
Goyang ngebornya Inul, dalam waktu yang sangat singkat bak virus flu babi langsung melahirkan varian-varian baru macam : goyang ngecor, goyang gergaji, goyang patah-patah, goyang ndlosor, goyang njempalik yang intinya ya plekek tadi. Bak wanita yang tubuhnya sedang dikerubuti ulat bulu, para plekeker tadi bergoyang sedemikian hebatnya. Kadang disertai teriakan perkasa “Allahu Akbar” ketika menyanyikan lagu-lagu bang Haji.
Kini ndangdut plekek tetap tidak bisa ditemukan di tradisi Sekaten. Tapi ia ada disetiap tempat. Dihajatan manten, sunatan, acara 17-an, café-café bahkan kampanye-kampanye parpol. Setelah nyobrot soal moral dan kemakmuran negeri, acara kampanye ditutup dengan mlekek secara berjamaah. Nggak perduli yang nonton anak-anak kecil yang terlongo-longo didepan panggung.
Virus “plekek” ala Inul juga menyebar ke bidang lain termasuk film, fotografi dan aliran musik yang lain. Ketika undang-undang anti pornografi dan pornoaksi sedang ditarik ulur untuk disahkan, ratusan artis plekek dan suporternya justru berdemo dijalanan dengan aneka pakaian mini. Jargonnya cukup menohok jantung : “kalo nggak suka, ya jangan lihat .. gitu aja koq repot”
Ketika ormas Islam memprotes rencana mendatangkan artis porno dunia untuk main di Indonesia, justru foto dan video sang artis banyak diburu.

Syahdan, disebuah desa terpencil yang hijau dan damai. Adzan Isya’ sudah lama berlalu, Suasana desa sedang hinggar binggar karena pentas ndangdut plekek diacara bersih desa. Seluruh penduduk, tua muda, besar kecil, laki perempuan tumplek blek diacara itu. Dan di mushola desa yang sepi, 3 orang pemuda sedang bebicara dengan berbisik seolah takut tembok-tembok mushola akan membocorkan apa yang mereka bicarakan. Mereka sedang merencanakan bom bunuh diri

0 Response to "Ngangkang sampe kiamat"

Posting Komentar