Sama sekali saya tidak berkehendak berdebat soal fiqh, khilafiyah atau dalil apapun. Saya tak cukup ilmu untuk itu. Saya sangat bodoh. Melafazkan al Fatihah saja belum tentu benar. Tapi ini soal rasa dan yang bercampur dengan keyakinan.
Dan sama sekali pula saya tidak hendak menghujat suatu pemahaman. Karena cocok atau tidak cocok, setuju tak setuju dalam perbedaaan memahami ajaran agama Islam, saya memilih diam. Dan kalaupun saya omongkan, hanya dalam kalangan terbatas yang sepaham dengan saya.
Pula, sama sekali saya tak hendak mensalah-benarkan. Bukan hak saya dan kapasitas saya melakukannya
Ini soal keprihatinan atas hilangnya, tercerabutnya akar sebuah budaya dalam hanya satu kasus. Ya .. hanya dalam satu kasus. Bukan gebyah uyah.
………………………………………………….
Hari ini saya menghadiri sebuah pesta walimatul ursy.. Saya harus datang karena saya ditunjuk menjadi panitia, diundang, masih ada hubungan saudara dan juga bertetangga. Tak ada yang aneh dalam pesta itu. Mungkin sudah ratusan kali saya menghadiri pesta serupa. Tapi kali ini saya merasakah suasana yang hilang.
Pesta pernikahan dilakukan dengan cara Islami. Tapi aneh, saya justru nyaris tak menemukan Islam disana.
Hampir seluruh hiburan diisi dengan qasidah, tapi justru saya tak menemukan makna apapun disana.
Tembang-tembang jawa sebagai pengiring ritual pesta diganti dengan sholawat, tapi justru saya tidak merasakan kehadiran Rasul disana.
Apa yang salah dengan “kodok ngorek”, tanya teman saya.
Kodok ngorek adalah sebuah gending yang biasanya mengiringi prosesi bertemunya pengantin. Dan hari itu sang kodok pun digantikan dengan sebuah lagu qasidah. Islam? Jelas! Islami? Pasti! Hambar? … itu yang saya rasa.
Kedatangan rombongan keluarga pengantin priapun tak kalah serunya. Gending Puspowarno-pun diganti dengan …………. sholawat Badar!
Ah .. apa jeleknya dengan sholawat? Tidak ada! Tidak ada yang jelek dengan bersholawat. Tapi, sebagai penggambaran, hari itu saya juga melihat kedatangan seorang tamu, seorang ibu, yang datang berkerudung, menggenakan celana jeans ketat, berbaju warna-warni bak sedang dipantai. Cantik? Cantik … Pantas? … Pantas … Pas? Tidak! …. Kira – kira begitulah pemahaman saya tentang sholawat badar replacement tadi.
Ah .. saya terlalu cerewet. Bukankan sudah saatnya semua berubah? Bukankah kebudayaan yang baru yang didasari agama harusnya dikembangkan?
Saya tidak melihat lahirnya kebudayaan yang baru. Yang saya lihat adalah pemerkosaan. Tradisi pengantin jawa, bila itu dibid’ahkan, kenapa hanya diganti pada hanya pada soal gending, kembar mayang, pakaian dan segala hal yang berkaitan dengan tampilan fisik semata? Kenapa ritus-ritusnya masih dijalani?
Pesta pengatin jawa tanpa sesaji, saya setuju 100 %
Pesta pengantin jawa tanpa pawang hujan, saya setuju 100%
Pesta pengantin jawa dengan pemisahan tempat duduk pria dan wanita, saya setuju 100%
Tapi ini? ……
Yang saya kuatirkan adalah datangnya suatu masa dimana justru tradisi-tradisi ini dijalankan oleh “orang lain” dan kemudian kita bersama-sama berteriak-teriak “ mereka berdakwah dengan cara yang licik dengan men-jawa-kan ajaran mereka!”
Islam jawa ( islam yang di-jawa-kan ) sudah saatnya berakhir. Tapi setidaknya, menurut saya, saya ingin menjadi “jawa islam”.
Wallahu alam bishowab
uyur-uyur kang.... ceker neng omahmu....mugo-mugo ono sing mupangati.....
BalasHapus