Di sebuah stasiun tipi berita nasional, ditampilkan “berita” tentang tingkah polah wakil rakyat yang memalukan. Dengan narasi ala deklamasi tujuh belasan, slide gambar berganti-ganti diiringi musik mencekam persis film horror. Pemirsa diajak untuk takut, muak dan benci. Sesaat kemudian jeda iklan dan jreeeeeng! “Pilih partai #$%!@#$!” demikian kata sepasang petani dalam iklan itu.
Selidik punya selidik …. jabang bayik!, si pemilik stasiun tipi ternyata adalah deklarator, ketua dewan Pembina sekaligus “owner” partai yang barusan diiklankan tadi.
Pantesan, tiap hari nggak ada berita yang beres dalam tipi ini. Suguhan berita plus narasumber yang diambil selalu nyobrot soal kebobrokan seolah-olah negeri ini adalah neraka jahanam. Dan seperti biasa, pas jeda iklan muncul iklan partai tadi bergantian dengan iklan sosis dan sampo.
Partai tadi diiklankan sebagai solusi bahwa merekalah yang bisa memperbaiki semuanya. Partai ini adalah partai ajaib yang muncul dari kendi ajaib yang tidak akan bertanya “wani piro?” tapi langsung tandang gawe cancut taliwondho. Sedang yang lain (partai lain) terutama yang memerintah atau terlibat dalam pemerintah adalah lambang kegagalan, manipulasi dan kebodohan.
Ah biasa .. kata teman saya Paidun, ini soal pencitraan, khan cuma iklan. Toh, kamu kalau mampu bisa bikin iklan tandingan .. lanjut Paidun sambil klebas-klebus nyedot udud.
Faham sefaham-fahamnya guman saya. Politik memang tidak beretika. Salah benar punya takaran sendiri.
Ada banyak wakil rakyat yang saya kenal. Dan dari sekian banyak, memang benar apa yang dikatakan tipi itu. Wakil rakyat berubah menjadi semacam profesi. Sering tanpa diiringi keinginan untuk berprestasi. Lebih kepada keinginan untuk “pengamanan profesi”
Saya ingat sebuah peristiwa. Seorang teman nyaleg dalam pemilu lalu. Dia bukan orang kaya tapi idealis dan setahu saya lumayan bersih. Dalam sebuah jumpa warga disebuah RT dia hadir. Setelah memperkenalkan diri sebagai caleg dari partai ini, dia mulai bercerita tentang cita-citanya kelak ketika ia terpilih. Tidak ada tanggapan atau pertanyaan dari warga RT tersebut. Semua diam, patuh.
Selesai acara, disebuah wedangan, warga yang sempat hadir tadi mulai nyobrot. Soal teman saya tadi. Semua yang dikatakan adalah soal tidak baiknya. Salah satunya soal “visi misi” yang katanya tidak jelas. Ketika saya Tanya apa yang dimaksud dengan visi misi versi mereka ternyata adalah soal sepele. Soal sangu, angpao, mahar politik atau apapun namanya. Inilah yang disebuat “visi misi”. Dan memang benar, ketika pemilu berlangsung, di RT tadi sebuah partai dan nama calegnya menang telak. Setelah ada mahar politik dari sicaleg berupa 50 kursi plus uang “jajan” sebesar Rp. 50.000 per KK.
Dan kemudian, selang beberapa tahun, setelah pemilu, saya bertanya kepada beberapa dari warga, apakah si caleg ( yang kemudian saya ketahui benar-benar jadi “leg” tanpa “ca”) pernah berkunjung ke RT tersebut sekedar menyapa? Jawab mereka, tidak pernah sama sekali. Ketika saya tanya apakah mereka tahu apa yang telah dikerjakan oleh orang pilihan mereka, mereka menjawab, tidak tahu sama sekali dan tidak peduli. Nah lho?!!
Ini adalah ironi. Lingkaran setan : pemimpin buruk à konstituen buruk à pemimpin buruk.
Jika lingkaran setan ini dipelihara, dibiarkan maka persoalan dari hari ke hari semakin membesar. Sayang, setidaknya hingga saat ini, pendidikan politik hanya berlangsung dilingkar kader partai plus beberapa ormas. Ada semacam ketabuan ketika orang berbicara politk dalam keseharian. Ada semacam tuduhan “black campaign” ketika disodorkan keburukan si calon pemimpin.
Celakanya lagi, partai sebagai sumber pencerahan politik sering justru menjadi corong dan pelopor dari lingkaran setan ini. Mereka baru akan berteriak-teriak setelah lingkaran setan ini tidak lagi menguntungkan mereka. Sementara para kader yang murni pejuang dan mencoba benar-benar menjadi wakil konstituen harus tersingkir bahkan terbuang.
Ini adalah ironi, dari apa yang disebut demokrasi.

0 Response to "Ironi Demokrasi"
Posting Komentar