Pernah pada suatu ketika saya berdebat dengan istri soal murah mana antara beli barang diwarung tetangga dan di supermarket. Istri saya yang berpendapat bahwa beli supermarket lebih murah menunjukkan bukti shahih setingkat document A1 berupa struck belanjaan dari supermarket dan melakukan perbandingan harga dengan barang yang sama diwarung sebelah.
“lho, lihat ini mas, mie instant di super market cuma 950 rupiah sedangkan diwarung mas Bedjo di sebelah rumah sudah 1025. Ngirit 75 perak khan mas,” kata istri saya ngotot berargumen. Kemudian list pembanding harga bertambah panjang dengan daftar “lebih murah” barang yang lain.
Saya mafhum. Sudah sifat dasar perempuan. Jangankan selisih 75 perak, selisih 10 rupiah-pun akan para wanita perjuangkan dengan tingkat militansi setara orang-orang Taliban. Sampai mati bila perlu.
Sebenarnya yang hendak saya katakan kepada istri saya bukan soal selisih di daftar harga. Tapi sebuah propaganda cuci otak ala super market yang mampu mencuci otak orang agar berbuat dan berfikir seperti yang mereka mau.
Istri saya lupa bahwa untuk pergi ke super market butuh biaya. Jelas biaya transport plus parkir yang mesti dibayar. Itu tidak seberapa jika dibanding dengan efek domino dari propaganda cuci otak super market yang membuat orang takluk disuruh berlama-lama dalam super market, takluk untuk membeli aneka barang “diskon” yang sebenarnya barang itu sama sekali tidak mereka butuhkan dan terakhir fikiran mereka dicuci bahwa kualitas dan harga disuper market itu serba jauuuuuuuh lebih bagus dan jauuuuuuh lebih murah.
Si pemilik super market atau yang membuat kebijakan di super market telah menset sedemikian rupa agar efek domino seperti yang mereka kehendaki diatas berjalan dengan lancar. Dimulai dari penataan barang, efek cahaya, wewangian khusus sampai alunan musik yang mengalun yang telah dipilih melalui riset bertahun-tahun oleh pakar cuci otak. Bahkan konon, super market sengaja menyewa beberapa orang actor khusus yang tidak bakalan muncul di TV untuk jadi bintang sinetron rebutan wedokan atau jadi bintang iklan sosis. Tugasnya (hanya) mondar-mandir, (seolah-olah) belanja dan ngobrol ditengah kerumunan menceritakan tentang betapa beruntungnya mereka hari itu mendapatkan diskon ini itu, barang bagus ini itu. Tujuannya jelas memperkuat efek dari elemen-elemen yang lain.
Belum suasana wisata yang tercipta di supermarket. Orang dibuat tidak sedang dalam kondisi berbelanja tapi di buat dalam kondisi piknik. Ketika masuk orang seperti masuk dalam pyramid giza nan megah. Orang dibuat seperti sedang naik kano menelusuri kanal-kanal di kota romatisVenesia ketika di escalator atau lift. Keindahan relief Borobudur terpapar dietalase-etalase. Suasana yang membuat orang betah berlama-lama dan tidak eman lagi menguras isi kantong
Maka tak heran, si Iyem istri guru SD yang gajinya pas-pasan yang pergi ke supermarket untuk membeli gayung plastik karena gayung plastik dirumah sudah pecah dibanting si bungsu yang ngamuk minta handphone, setengah hari kemudian justru pulang membawa sprei dan korden. Padahal orang serumah sudah tiga hari mandi dengan rantang sebagai gayung yang sebenarnya tiap pagi rantang itu untuk beli soto!
Maka tak heran pula nyonya David istri seorang pengusaha kaya tiap hari nangkring di mall, mondar-mandir dan main gesek kartu kredit untuk beli aneka diskon sepatu yang kemudian justru dirumah ia terlongo-longo karena semua sepatu-sepatu yang dibelinya telah ia beli juga sebulan yang lalu dan belum sempat keluar dari kardus!
Tapi sayang, semua teori saya itu tidak bisa saya katakan ke istri saya. Bukan karena apa-apa, tapi saya tidak punya alat bukti semacam struck belanja ala istri saya.
Maka saya cuma bilang ke istri saya, “kalau mas Bedjo pergi keluar kota dan pulang membawa oleh-oleh, insyaa Allah kita kecipratan juga. Kalo si engkoh pemilik mall pergi ke luar negeri membawa oleh-oleh satu container sekalipun, lihat saja kita nggak kan pernah bisa, apalagi kebagian. Wong nggak kenal”

0 Response to "Dipaksa belanja"
Posting Komentar