Orang Baik Itu Adalah Tukang Becak

Waktu SD, seperti biasanya para guru menanyakan apa cita-cita mereka kelak. Demikian halnya saya. Pada waktu itu rata-rata teman-teman saya menjawab dengan jawaban  “standart” semacam guru, dokter, insiyur dan jawaban standart lainnya. Kalaupun ada yang agak nyleneh mungkin adalah jawaban ingin menjadi pedagang atau menjadi juragan ayam. Tapi jawaban yang saya berikan lebih nyleneh lagi. Saya dengan lantang menjawab : ingin jadi tukang becak!

Tentu saja guru saya shock berat yang kemudian mencoba membujuk saya untuk menjadi dokter atau minimal guru. Sebagai ketua kelas plus juara kelas saya memang diharapkan menjawab dengan jawaban yang istimewa. Memang sejak kelas 1 sampai kelas 3 saya silih berganti rangking 1 atau rangking 2 setiap catur wulannya (cawu). Mulai kelas 4 lah saya selalu memimpin klasemen bahkan meraih scudetto di akhir musim .. eh .. kelulusan. Bukan karena saya tambah pinter tapi karena pesaing berat saya pindah sekolah.
Cita-cita saya untuk menjadi tukang becak sebenarnya punya landasan, hujjah dan dasar-dasar yang kuat. Setidaknya pada waktu itu. Sebagai anak yang dibesarkan dikeluarga menengah kebawah, sejak pertengahan kelas 1 saya sudah harus mandiri dengan berangkat sendiri ke sekolah tanpa diantar apalagi ditunggui. Padahal jarak antara sekolah saya dengan rumah sekitar 3 km. Dan tantangan terbesar dari jarak itu adalah menyeberang jalan protokol yang sangat ramai. Nah, pada saat hendak menyeberang itulah biasanya para tukan becak yang mangkal di pinggir jalan menyeberangkan saya. Demikian juga pada waktu saya pulang.  Sehari rata-rata 2 kali. Tapi kadang 4 kali ding. Saat saya mesti ikut ekstra macam pramuka.

Seperti halnya orang lain pada umumnya, saya selalu mengidolakan orang baik. Suka pada mereka dan ingin seperti mereka. Itulah mengapa saya menjawab tukang becak sebagai cita-cita saya.

Sampai saya kemudian tahu bahwa bapak saya telah mengatur semua itu. Beberapa tukang becak itu telah mendapat honor atau insentif khusus sebagai bagian dari deal menyeberangkan saya tadi pada tiap minggunya. Sejak tahu itu, padangan saya pada para tukang becak tadi berangsur menjadi biasa saja. Tukang becak tadi dalam benak saya sama dengan tukang sayur, tukang jualan sate dan tukang-tukang yang lain yang tiap hari saya temui.

Kenaifan saya soal orang baik itu ternyata berlanjut sampai sekarang. Dengan sedikit gosokan kecil saja yang mempengaruhi saya bahwa seseorang itu baik maka sering saya rela tanpa ba bi bu membela mati-matian si orang baik tadi. Tapi sering kemudian saya harus kecewa karena ia ternyata sama dengan tukang becak dimasa kecil saya yang menjadi baik karena ada honor dan insentif.

Apalagi pada masa kini. Orang baik itu bisa dikreasikan dengan banner, iklan, selebaran, sticker, sembako dan lain-lain. Bahkan perusahaan yang mengkhususkan diri membuat orang menjadi (seolah-olah) baik meraup keuntungan yang sangat besar dan membuat para creator orang (yang seolah-olah) baik menjadi  kaya raya.
Si Fulan yang pengin jadi Bupati padahal tidak ada yang bisa dijual darinya karena dia adalah campuran antara kegoblokan dan kebejatan dicampur kelicikan bisa menjadi seorang cerdik cendikia, alim dan lurus. Cukuplah ia bayar para ahli pencipta orang baik tadi dengan harga yang pantas. Para ahli tadi segera membuat skema nan rumit dan gerakan massif demi “baiknya” si Fulan tadi. Dari sebar alat peraga, iklan dimedia massa, mengerahkan orang untuk nyobrot sana sini sampai nyewa ulama-ulama bayaran yang rela bersumpah “demi Alloh” untuk sekedar 1 – 2 juta repes. Dan dalam waktu yang singkat, citra si Fulan berubah 180 derajat dan dilantiklah dia menjadi bupati dengan predikat “Bupati dari orang baik-baik”. Setelah dilantik? Baik atau buruk tidak lagi menjadi soal.

Celakanya, dalam kondisi kepepet, disaat saya butuh honor dan insentif, cara-cara diatas sering baik sadar atau tidak terduplikasi dengan sempurna. Memang sangat sedap menjadi orang yang dipandang baik plus dapat honor. Gerrrrrr ….



1 Response to "Orang Baik Itu Adalah Tukang Becak"